Pengembangan Pelabuhan dan Pengurangan Biaya Logistik

Tanggal : 21 Desember 2020 | Waktu Baca : 0 menit


Pengembangan Pelabuhan dan Pengurangan Biaya Logistik

Pemerintah memiliki perhatian yang sangat besar terhadap pengembangan sektor transportasi di Indonesia. Hal ini terbukti dengan komitmen dalam pengembangan sektor transportasi agar bisa lebih efisien dalam mendorong sektor ekonomi yang lain. Komitmen tersebut misalnya tercermin dengan penandatanganan instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penataan Ekosistem Logistik Nasional pada tanggal 16 Juni 2020 lalu. Melalui Inpres tersebut, pemerintah membuat national logistics ecosystem (NLE) sebagai reformasi sistem logistik nasional untuk menurunkan biaya logistik di Indonesia. Dengan inisiatif tersebut, pemerintah menargetkan penurunan biaya logistik terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hingga mencapai 17 persen sehingga Indonesia bisa lebih bersaing dengan negara lain. Berdasarkan riset Frost dan Sullivan (2016), biaya logistik di Indonesia masih mencapai 24 persen dari total PDB atau setara dengan kurang lebih Rp 1.820 triliun per tahun. Besaran proporsi biaya logistik ini masih cukup besar dibadingkan dengan Vietnam (20%), Thailand(15%), Tiongkok (14%), Malaysia, Filipina, dan India (13%), Taiwan dan Korea Selatan (9%), serta Singapura dan Jepang (8%). Tentu, tidak bisa dipungkiri bahwa kondisi geografis Indonesia yang berkepulauan sering kali membutuhkan transprtasi multimoda antar propinsi dan pulau yang menyebabkan biaya logistik secara natural lebih tinggi. Salah satu yang juga sangat berpengaruh adalah dwelling time, atau waktu yang dihabiskan oleh barang muatan atau kargo di dalam batas pelabuhan dari mulai dibongkar dari kapal, disimpan di darat, hingga saat kargo itu meninggalkan pelabuhan. Di Indonesia masih memakan waktu 3 hari lebih dibandingkan dengan negara Asia lain yang rata-rata memakan waktu 1 hingga 2 hari. Penekanan biaya logistik adalah salah satu kunci utama pengembangan ekonomi ke depan. Berdasarkan data UNCTAD pada tahun 2015, lebih dari 80 persen total perdagangan dilakukan dengan transportasi laut. Sementara jika kita bandingkan dengan data World Bank (2019), rasio perdagangan Indonesia hanya 43 persen terhadap PDB pada tahun 2018. Rata-rata negara ASEAN memiliki rasio perdagangan lebih tinggi dari 70 persen dari PDB-nya seperti Filipina (76.1%, Brunei Darusalam (93.9%), Thailand (123.3%), Malaysia (132.3%), Vietnam (187.5%), dan Singapura (326.2%). Harus digarisbawahi jika negara-negara seperti Malaysia dan Singapura adalah transhipment hub untuk perdagangan Asia, sehingga volume perdagangan tidak serta merta menggambarkan aktifitas ekonomi negara tersebut. Namun demikian, tetap menjadi pertanyaan besar mengapa Indonesia sebagai negara maritim dan kepulauan yang mempunyai luas memiliki rasio perdagangan terhadap PDB yang relatif kecil. Melihat kembali prinsip dasar bahwa pengembangan pelabuhan mengikuti arus perdagangan (ports follow trade) pengembangan pelabuhan menjadi salah satu kunci utama dalam membahas problematika ini. Dari sudut pandang pelabuhan (port industry), berdasarkan studi Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) tahun 2012, pembangunan fasilitas infrastruktur pelabuhan akan menurunkan biaya logistik, dwelling time, dan memfasilitasi proses perdagangan dengan lebih baik. Tidak hanya itu, pembangunan fasilitas dan infrastruktur pelabuhan juga memberikan spillover effect atau dampak positif juga ke sektor-sektor ekonomi lainnya. Shan et al (2014) pada studinya di logistics and transportation review di negara Tiongkok menemukan setiap peningkatan 1 persen port cargo throughput bisa meningkatkan PDB per kapita sebesar 7.6 persen dan memberikan dampak positif ke ekonomi sekitar. Studi lain yang dilakukan oleh Bottasso et al. (2013) pada studinya di transport policy di Eropa menemukan setiap satu jutaan ton net port throughput akan menciptakan 400 sampai 600 pekerjaan baru di wilayah tersebut. Di Indonesia, studi dari Bank Dunia pada tahun 2014 menunjukkan bahwa biaya angkutan laut berkontribsui sebesar 2-3% dari harga barang di tingkat konsumen akhir. Namun biaya menunggu di pelabuhan akibat dwelling time yang lama berpengaruh lebih besar, yaitu sekitar 6-15% dari harga barang. Daerah-daerah seperti Ternate dan Tarakan memiliki waktu tunggu yang cukup lama dibandingkan dengan daerah lain.

Pengembangan Pelabuhan dan Pengurangan Biaya Logistik

Dengan demikian pembangunan pelabuhan di daerah menjadi penting sebagai upaya menurunkan biaya logistik. Mengambil sebuah contoh kecil pembangunan Terminal Petikemas Palaran yang berlokasi di Kota Samarinda, Kalimantan Timur menggantikan pelabuhan lama di Samarinda. Produktifitas pelabuhan memiliki dampak ke perbaikan indikator ekonomi yang sangat besar. Produktifitas pelabuhan ditunjukkan dengan antrian sandar di pelabuhan yang turun dari 10 hari ke 3 hari, serta round-trip voyage Jakarta-Samarinda-Jakarta yang sebelumnya 19 hari menjadi 11 hari. Yang lebih penting lagi, biaya angkut Jakarta-Samarinda turun lebih dari separuh dari Rp 9 juta/box menjadi hanya 4 juta/box. Dampak efisiensi pelabuhan terhadap indikator perekonomian sangat kuat. Angka inflasi umum di kota Samarinda yang berada pada kisaran 10.63% pada tahun 2004-2010 (sebelum pelabuhan baru beroperasi) menjadi hanya 4.86% setelah tahun 2010. Angka inflasi makanan turun dari 10.63% menjadi hanya 4.86%. Pada saat yang sama tingkat pengangguran terbuka di Samarinda turun dari kisaran 10% ke 8%. Dalam skala nasional, penambahan serta modernisasi pelabuhan juga masih sangat dibutuhkan karena produktivitas pelabuhan di Indonesia secara umum masih tertinggal dibandingkan dengan best practise di pelabuhan-pelabuhan lain. Misalnya port productivity di Tanjung Priok (NPCT1) sekitar 90 petikemas per jam per kapal sudah sangat bagus. Namun masih berjarak dengan beberapa port besar Asia, seperti Jaber Ali (138), Tianjin (125), Yokohama (105) dan Xiamen (90). Ini menggambarkan masih perlunya peningkatan produktivitas agar pelabuhan di Indonesia bisa on-par dengan pelabuhan terbaik di Asia. Sebagai penutup, biaya logistik yang tinggi di Indonesia memang masih menjadi problematika dan pekerjaan rumah untuk diselesaikan, tetapi bukan berarti tidak bisa diselesaikan. Salah satu kunci utama adalah efisiensi pelabuhan (port) yang memegang peranan penting dalam menurunkan biaya logistik. Sebagai contoh pembangunan pelabuhan Patimban yang direncanakan mulai dibangun akhir tahun ini juga harus diarahkan dengan semangat penurunan biaya logistik di atas sehingga perencanaan dan pembangunannya dijalankan dengan profesional dan nantinya bisa memberikan dampak pengganda yang besar kepada perekonomian lokal dan nasional. Ibrahim Kholilul Rohman dan Aji Putera Tanumihardja [Kontan, 27 Oktober 2020]

Berita Terkait

Penginapan Terindah di Atas Air

27 Januari 2022

Nikmati rasanya bermalam di atas air. Beri...

Waspada Penipuan Rekrutmen Karyawan Mengatasnamakan PT Samudera Indonesia Tbk

21 Desember 2020

Sehubungan dengan maraknya aksi penipuan rekrutmen calon pekerja, kami menghimbau agar para pelamar ...

Waspada Transmisi COVID-19 sebagai Klaster di Keluarga

21 Desember 2020

Penyebaran COVID-19 sudah mulai tersebar di klaster keluarga sehingga penting bagi setiap anggota ke...

DAPATKAN INFORMASI DAN PENAWARAN LAINYA DARI KAMI

TERHUBUNG DENGAN KAMI

Apakah Anda mengelola perjalanan bisnis di perusahaan atau organisasi Anda?


Kami memahami betapa sulit dan kompleksnya hal itu karena sifatnya yang dinamis. perusahaan berhak mendapatkan solusi yang lebih baik untuk menyederhanakan proses kerja dan mendorong efisiensi biaya yang efektif

Daftar Sekarang